Bagi Pengalaman
Sabtu, 14 Desember 2013
Jumat, 13 Desember 2013
Selasa, 29 Mei 2012
KAJIAN
AWAL TENTANG TEORI-TEORI GENDER
Oleh:
Marzuki (PKn dan Hukum FISE UNY)
Abstract
Gender
is a characteristic used as the basis for identifying the differences between
men and women in terms of social and cultural conditions, values and behavior,
mentality, emotions, and other nonbiologis factors. To understand and resolve
the issue of gender, we can study various theories of gender. Gender theories
adopted many of the theories of sociology and psychology. Among of gender
theories is the Structural-Functional Theory, Social-Conflict Theory, Theory of
Liberal Feminism, Theory of Marxist-Socialist Feminism, Theory of Radical
Feminism, Ekofeminisme Theory, and Theory of Psychoanalysis.
Kata
Kunci: Gender,
Feminisme, dan Teori-teori Gender.
Pendahuluan
Persoalan
gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan,
maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih tetap aktual
dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia yang
belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai ketimpangan
dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender.
Memahami
persoalan gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan berbagai kajian
yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang gender.Kajian-kajian
yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah kajian-kajian
dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian sosial inilah
muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teor gender
atau sering juga disebut teori-teori feminisme. Sebenarnya masih banyak lagi
kajian yang bisa digunakan untuk mendekati persoalan gender di samping kajian2
kajian sosial, misalnya kajian antropologis dan kajian psikologis, kajian ekonomis,
meskipun tidak sedominan kajian-kajian sosial.
Tulisan
singkat ini mencoba memaparkan beberapa teori gender yang dibangun
berdasarkan
teori-teori yang berkembang dalam sosiologi dan psikologi. Tulisan ini
diharapkan memberi penjelasan awal tentang berbagai teori gender yang dapat
dijadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis gender terhadap berbagai
persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Teori-teori ini juga
diharapkan dapat mendasari para pengkaji dan para pengambil kebijakan dalam persoalan
gender untuk memecahkan persoalan ketimpangan gender yang masih terus muncul di
tengah-tengah kehidupan kita di Indonesia. Sebelum dibahas teori-teori gender,
ada baiknya dibahas dulu pengertian gender.
Pengertian
Gender
Gender
sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan
jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau
kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata
‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M.
Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai
‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan
perilaku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561).
Secara
terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain
tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine
Showalter (ed.), 1989: 3).
Gender
bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk
menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan
dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).
Dari
beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas,
dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex,
meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis
kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517).
Secara
umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex
lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia
dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih
menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.
Sejarah
perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui
proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi
sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang
panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan
yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat
diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan
gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender
memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan
pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang
terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga
dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang.
Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang
untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang
banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
Teori-teori
Gender
Secara
khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender.
Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari
teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait
dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan.
Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak
diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang
dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan
masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang
dianggap penting dan cukup populer.
1. Teori
Struktural-Fungsional
Teori
atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan
dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu
masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini
mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat,
mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur
tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam
kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan
Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Teori
struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial.
Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan
menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur
sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota
yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan
ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai
tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi
dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma,
dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Terkait
dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra industri yang
terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter)
dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih
banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada
keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan
reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja
seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat
yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan
oleh sex (jenis kelamin).
Menurut
para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam
masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian 6 peran
secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan
pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik.
Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem
keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud
bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Teori struktural-fungsional
ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena dianggap membenarkan praktik
yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan
dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domistik, terutama
dalam masalah reproduksi.
Menurut
Sylvia Walby teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern.
Sedang Lindsey menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam
stratifikasi gender di tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Meskipun
teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih tetap bertahan
terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung tetap
memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktivitas.
Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih
dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan.
Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat diterima
secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena masyarakat
modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin Umar,
1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan
jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam
posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi
sentral.
2. Teori
Sosial-Konflik
Menurut
Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal
distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan
menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang
menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar
individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau
masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76).
Dalam
masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx,
karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi
oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan
ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan
biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam
relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-laki dan perempuan
(suami-istri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan
tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender
dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi
masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti
F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.
Asumsi
yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori diterminisme
ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional,
yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik,
pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi
atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem sosial secara
sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan
dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian
sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber
utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81).
Menurut
Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-laki
terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan.
Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah
hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan
mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan (Nasaruddin Umar,
1999: 62). Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif
(harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang
penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk
melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan
peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau
patriarkat.
Menurut
para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam
melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan
perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan
peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan
struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91.
Teori
sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama karena
teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya
melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya setuju
dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan
kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh
beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan isteri,
senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin Umar,
1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis modern
yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme, seperti
feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.
3. Teori
Feminisme Liberal
Teori
ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.
Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh
antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction)
antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi
perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna
Megawangi, 1999: 228).
Teori
kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut
teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua
peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok
jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang
bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.
4. Teori
Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme
ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan
gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan
kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan
kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada
kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’
yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan
rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi,
1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu
menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai
kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender
dalam kerangka dasar ideologinya.
Teori
ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik.
Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik.
Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif. Padahal
semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada
produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan
yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi
pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum
perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum
feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki
penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik
yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).
5. Teori
Feminisme Radikal
Teori
ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an.
Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori
ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem
patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki
(patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci
laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa
perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan
teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik
internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa
perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi,
1999: 226).
Karena
keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan
sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak
setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan
pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani
oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa
lepas dari beban ini.
6. Teori
Ekofeminisme
Teori
ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia
yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan
tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme modern
berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya
dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat
individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan
berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).
Menurut
teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang
tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas
femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan
masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke
dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern
semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat
adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata
dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan)
dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas,
menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang
menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183).
7. Teori
Psikoanalisa
Teori
ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini
mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal
ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang
tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah
laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id
sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan
sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja
dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id.
Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan
tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek
moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa
menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46).
Menurut
Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat
dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan
pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh
kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan.
Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan
perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial berdasarkan
identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin Umar,
1999: 41).
Pada
tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap
ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya
sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman
dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya
sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak
memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa
sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan
ibunya sebagai objek irihati.
Pendapat
Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena Freud
mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori psikoanalisa
Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri menganggap
kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik. Freud tidak
sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan pada
hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru dapat
dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka mencapai
keadilan gender. Karena itu, penyempurnaan terhadap teori ini sangat diperlukan
agar dapat ditarik kesimpulan yang benar. Itulah beberapa teori-teori gender
yang dapat digunakan untuk memahami berbagai persoalan gender dalam kehidupan
kita. Tentu saja masih banyak lagi teori-teori atau pendekatan-pendekatan lain
yang bisa digunakan untuk memahami persoalan gender, misalnya pendekatan
fenomenologis, pendekatan agama, teoriteori ekonomi, dan teori-teori sosial
lainnya.
Kesimpulan
Dari
kajian singkat tentang teori-teori gender di atas dapat dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Secara etimologis makna gender identik dengan makna sex yang berarti
jenis kelamin. Sedang secara terminologis gender dan sex memiliki makna
yang sangat berbeda, meskipun masih memiliki keterkaitan yang tidak bisa
dipisahkan.
2. Tidak
ada satu pun teori yang khusus digunakan untuk mengkaji permasalahan gender.
Teori-teori yang dikembangkan untuk gender ini diadopsi dari teori-teori yang
dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan
gender, terutama teori-teori sosiologi dan teori psikologi. Teoriteori dimaksud
adalah Teori Struktural-Fungsional, Teori Sosial-Konflik, Teori Feminisme
Liberal, Teori Feminisme Marxis-Sosialis, Teori Feminisme Radikal, Teori
Ekofeminisme, dan Teori Psikoanalisa.
Daftar
Pustaka
Echols,
John M. dan Hassan Shadily (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Cet. XII.
Lips,
Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing
Company.
Megawangi,
Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung:
Mizan. Cet. I.
Mulia,
Siti Musdah (2004). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia Pustaka
Utama. Cet. I. 15
Neufeldt,
Victoria (ed.) (1984). Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s
New World Clevenland.
Showalter,
Elaine (ed.) (1989). Speaking of Gender. New York & London: Routledge.
Umar,
Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina. Cet. I.
Biodata
Penulis
Dr.
Marzuki, M.Ag., dilahirkan di Banyuwangi tanggal 21 April 1966. Menyelesaikan
studi S-1 dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1990 dan
menyelesaikan studi S-2 dari Program Pasca Sarjana Jurusan Pengkajian Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997 serta S-3 dari institusi yang sama tahun
2007. Sekarang sebagai dosen tetap di Prodi PKn Jurusan PKn dan Hukum FISE UNY.
Tulisan-tulisan yang dibuatnya berkisar dalam bidang Pendidikan Agama Islam dan
Hukum Islam serta permasalahan gender dalam perspektif Islam.
Jumat, 04 Mei 2012
PERBEDAAN DESA DAN KOTA DALAM BENTUK BEBERAPA ASPEK
PERBEDAAN DESA DAN KOTA DALAM
BENTUK BEBERAPA ASPEK
ASPEK
|
KOTA
|
DESA
|
Fisik Bangunan
Tk
Diferensiasi
Struktur
Sosial
Peran Anggota
Masyarakat
Gaya Hidup
|
Bangunanya berbentuk tembok dan kokoh.
Teknologi
computer dikalangan masyarakat kota sudah canggih dan kemajuannya sudah cepat
dibandingkan dengan masyarakat desa, mungkin kendalanya masyarakat kota lebih
handal dibandingkan masyarakat desa dalam pengguynaan computer, terus ada
hambatan lainnya, seperti tidak mennyukupinya uang untuk membelikan
barang-barang seperti computer tadi dan mungkin masihg bannyak
teknologi-teknologi yang lain.
Struktur
masyarakat kota lebih tertata secara rapi dan daik, karena ada pembagian tugas
pekerjaan yang berbeda – beda antara pekerja satu dengan yang lain dan sesuai
skill pekerja masing – masing.
Dalam hal
gotong- royong masyarakat kota cenderung peminatnya lebih sedikit, mungkin
karena masyarakat kota cenderung memikirkan kesibukannya masing-masing,
sehingga apa bila ada orang kota yang membutuhkan bantuan pasti memanggil
pekerja dan dibayar dengn uang.
Gaya hidup
masyarakat kota sekarang sudah hampir sama dengan gaya hidup orang-orang
barat, karena dengan kaya tersebut dia bisa merasa lebih PD dengan apa yang
mereka pakai.
|
Kalau desa bangunanya
kebanyakan masih terbuat dengan kayu–kayu biasa.
Kalau
dibandingkan dengan masyarakat kota tentang teknologi, masyarakat desa
cenderung lebih terpojokkan karena
memang masyarakat desa tidak begitu bisa menggunakan walaupun bisa paling
cuman sedikin, kendalanya mungkin karena tidak punnya uang untuk beli, terus
terus unttuk bisa buat makan saja sudah senang gimana mau beli yang lain-lain
Struktur
masyarakat desa tdk begitu tertata dengan rapi, karena pekerjaan tugasnya ada
yang dirangkap pekerja lain dan pejerjaannya tidak sesuai dengan orang yang
bersangkutan.
Sedang
masyarakat desa masih memiliki peran saling tolong menolong yang sangat kuat
dalam bidang gotong- royong, dan lain-lain, karen dalam hal tersebut
masyarakat dapat memper erat tali persaudaraan dan kebersamaan sesama
masyarakat.
Sedang
masyarakat desa lebih hidup dengan cara kesederhanaan yang mereka miliki,
mungkin karena masyarakat desa merasa tidak mungkin bisa membeli barang yang
mereka anggap itu barang berharga.
|
INTERAKSI MASYARAKAT DESA DAN
KOTA.
INTERAKSI
|
KOTA
|
DESA
|
Bentuk
|
Kerja sama
Persaingan
Pertentangan
Pertikaian
|
Kerja sama
Persaingan
Pertentangan
pertikaian
|
Peran
|
Dalam
interaksi masyarakat kota kurang berinteraksi dengan masyarakat lain karena
mereka mungkin berfikir dari pada saya sia-sia membuang waktu begitu saja
mending saya menyelesaikan tugas / pekerjaan saya
|
Sedang
masyarakat desa lebih banyak berinteraksi satu sama lain, karena menurut saya
masyarakat desa waktu luangnya sangat banyak dan kemungkinan besar masyarakan
desa menggunakan waktu kosong itu untuk mengobrol-ngobrol antar sesama
masyarakat, sehingga mereka lebih banyak berinteraksi satu sama lain.
|
Penting
|
Menurut saya
masyarakat kota dalam berinteraksi satu sama lainnya lebih penting, karena
masyarakat kota dalam berinteraksinya kadang yang dibincangkan adalah tentang
bisnis, dan mungkin macih bannyak
kyanglainya.
|
Sedang
masyarakat desa, dalam berinteraksi satu sama lain kadang membincangkan
kejelekan tetangganya yang menurut saya tidak perting dan derguna.
|
Jumat, 27 April 2012
Kamis, 26 April 2012
Selasa, 24 April 2012
Langganan:
Postingan (Atom)